PEMBAGIAN HADIST DARI KUALITAS DAN KUANTITAS RAWI
PEMBAGIAN
HADIST
A.
PENDAHULUAN
HADIST DITINJAU
DARI SEGI KUANTITASNYA
Ulama
berbeda pendapat tentang pembagian hadist, ditinjau
dari segi kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi
sumber berita ini. Di
antara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi 3 bagian
, yakni Hadist Mutawatir , Masyhur
, dan Ahad. Dan ada juga yang
membaginya hanya menjadi dua, yakni Hadist Mutawatir
dan Ahad.
1.
Hadist Mutawatir
Pengertian Hadist
Mutawatir
Mutawatir
menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang
datang berikut dengan kita , atau yang beriring-iringan
antara satu dengan yang lainnya
dengan tidak ada jaraknya.
Sedangkan
pengertian hadist Mutawatir menurut istilah, terdapat formulasi definisi,
antara lain :
§ "
Hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang
besar yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dulu
berdusta".
§ "
Hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang besar yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat terlebih dulu berdusta. Sejak awal sanad sampain akhir sanad,
pada setiap tingkat (tabaqat)".
§ Menurut
Nur ad-Din 'Atar mendefinisikan :
" Hadist
yang diriwayatkan oleh sejumlah orang besar yang terhindar dari kesepakatan
mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan
panca indra".
§ Menurut
Hasbi as-Siddiqi mendefinisikan :
" Hadist yang
diriwayatkan berdasarkan pengamatan panca indra oleh orang banyak yang
jumlahnya menurut adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta".
Syarat-syarat
Hadist Mutawatir
Mengenai syarat-syarat Hadist Mutawatir
ini, antara ulama Mutaqaddimin dan Mutaakhirin terdapat
perbedaan pendapat.
Menurut
Ulama Mutaqaddimin :
Mereka tidak membicarakan syarat bagi Hadist
Mutawatir. Menurut mereka, khabar mutawatir yang sedemikian sifatnya, tidak
termasuk ke dalam pembahasan ilmu isnad al-Hadist,sebab ilmu ini
membicarakan tentang sahih atau tidaknya suatu hadist, diamalkan atau tidak,
dan juga membicarakan adil dan tidaknya rawi, sementara
dalam Hadist Mutawatir tidak dibicarakan masalah
tersebut. Bila sudah diketahui status suatu
hadist sebagai hadist mutawatir, maka wajib diyakini
kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak boleh ada
keraguan, serta kafir orang yang mengingkarinya, sekalipun
diantara perawinya adalah orang kafir.
Menurut
Ulama Mutaakhirin :
Suatu
hadist dapat ditetapkan sebagai Hadist Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat
ssebagai berikut :
a.
Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi.
Mengenai
masalah ini para ulama
berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah
tertentu dan ada yang tidak menentukan
jumlah tertentu. Menurut ulama yang tidak menyaratkan
jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut adat,
dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang
diberitakan dan mustahil mereka sepakat
untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama yang menetapkan
jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu.
Penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan
di atas, sebetulnya bukan merupakan hal
yang prinsip, sebab persoalan pokok yang dijadikan
ukuran untuk menetapkan sedikit atau
banyaknya jumlah Hadist Mutawatir tersebut bukan
terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya 'ilmu Daruri. Sekalipun
jumlah perawinya tidak banyak, asalkan telah memberikan keyakinan bahwa
beritayang mereka sampikan itu benar, sudah dapat dimasukkan sebagai Hadist
Mutawatir.
b. Adanya
Keseimbangan Antar Perawi Pada Tabaqat (Lapisan)
Pertama dengan Tabaqat Berikutnya.
Jumlah
perawi Hadist Mutawatir, antara tabaqat dengan tabaqat lainnya harus seimbang.
Dengan demikian, bila suatu hadist diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian
diterima oleh 10 Tabi'in, dan selanjutnya hanya diterima oleh 5 Tabi'in, maka
tidak dapat digolongkan sebagai Hadist Mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak
seimbang antara tabaqat pertama dengan tabaqat-tabaqat seterusnya.
c. Berdasarkan
Tanggapan pancaindra
Artinya
bahwa berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri. Oleh karena itu, bila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil istimbat dari
dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan Hadist Mutawatir.[1]
2.
Khabar Ahad
·
Pengertian Khabar Ahad
Secara
pengertian ahad di ambil dari bahasa arab yaitu wahid, bentuk jama’nya adalah
ahad yang berarti satu. Sedangkan khabar sebagaimana yang telah di ketahui
yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW baik perkataan,
perbuatan, taqrir, sifat, dan cita-cita. Sedangkan menurut terminologi ialah
hadist yang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk mencapai tingkat
mutawatir.
·
Hukum, Faedah dan Bagian Khabar Ahad
a) Hukum
khabar ahad
Khabar
ahad berfaedah ilmu nazori artinya ilmu yang tertuju pada
peninjauan dan pengambilan dalil.
peninjauan dan pengambilan dalil.
b) Bagian
khabar ahad yang di tinjau dari beberapa macam sumbernya.
Khabar ahad di bagi menjadi tiga macam sumber ;
Khabar ahad di bagi menjadi tiga macam sumber ;
·
Hadist masyhur
·
Hadist ‘aziz
·
Hadist ghorib
Ketiga
macam hadist ini merupakan sumber munculnya hadist/khabar Ahad. Yang kami akan
jelaskan pengertiannya salah satu dari macam-macam tersebut.
ý Hadist
Masyhur
Secara
etimology kata masyhur di ambil dari isim maf’ul (kata objek) yang bermaknakan
" Di ". namun secara terminologi apabila kita sandarkan dengan
pengertian hadist ialah hadist yang di riwayatkan (masyurkan) oleh tiga orang
perawi hadist atau lebih. Hadist masyhur juga di namai dengan almusthafid,
karena tersebarnya hadist tersebut dalam jumlah yang cukup banyak. Contohnya
perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam :
“Muslim
sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan
tangannya”.
ý Hadits
‘Aziz
Hadits
yang diriwayatkan oleh dua rawi saja dimasing-masing tingkatan. Contohnya
perkataaan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam :
“Tidak
sempurna iman kalian hingga Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan
manusia seluruhnya.”
ý Hadits
Ghorib
Hadits
yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Contohnya perkataan Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya
setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan
sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…(hingga
akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim).
Hadits
ini dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin
Khotob rodhiallahu ‘anhu dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi
Waqosh dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah hanya Muhammad ibn ibrohim Attaimi,
dan yang meriwayatkan dari Muhammad hanya Yahya ibn Sa’id al Anshori.
Kesemuanya adalah tabi’in, kemudian diriwayatkan dari Yahya oleh banyak orang.[2]
MENILAI KUALITAS HADITS SHAHIH,
HASAN DAN DHA’IF
A. PENDAHULUAN
Hadits, oleh
umat Islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran Islam
sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya,
hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan
menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara
struktural hadits merupakan sumber
ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang bersifat
global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan
tentang berbagai problematika kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka
kita harus dan
wajib merujuk pada
hadits. Oleh karena itu , hadits
merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum
yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi
kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul
(hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadist Mardud
(hadits yang tertolak sebagai dalil ). Hadits Maqbul
terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan.
Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang
berbeda.
Kualitas
keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting,
terutama hadits-hadits yang bertentangan dengan
hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam
hal ini, maka kajian
makalah ini diperlukan untuk mengetahui
apakah suatu hadits dapat dijadikan hujjah
syar’iyyah atau tidak.
B.
HADITS SHAHIH, HASAN, DHA’IF (KLASIFIKASI, CONTOH
DAN ANALISIS)
1. HADITS SHAHIH
a. Pengertian Hadits Shahih
“Hadis shahih
adalah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh
(periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanadnya, tidak terdapat
kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat).
b. Syarat-Syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
Setiap
perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi
terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung
demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi
hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat)
yang menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung dalam periwayatannya.[4]
Sanad suatu hadits dianggap
tidak bersambung bila terputus salah seorang atau
lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus
itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang
bersangkutan tidak shahih.[5]
2)
Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada
padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya
ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat
Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala
tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.[6]
3)
Perawinya Dhabith
Dhabit artinya cukup kuat hapalannya. Seorang perawi
dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai
daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya. Adapun tsiqat
artinya dapat dipercaya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi
yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya
terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan
tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya,
bahwa orang yang disebut dhabit harus
mendengar secara utuh apa yang diterima atau
didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain atau
meriwayatkannya sebagaimana aslinya.[7]
4)
Tidak Syadz
Syadz
( janggal / rancu ) atau syudzuz adalah hadits
yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih
tsiqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini
dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih
kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka
lebih banyak, maka para rawi yang
lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz.Maka
timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[8]
5)
Tidak Ber’illat
Hadits
ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat
penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat
merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika
dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih.
Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan
nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan
demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat,
ialah hadits yang di dalamnya tidak
terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
‘Illat
hadis dapat terjadi baik pada sanad maupun pada matan atau pada keduanya
secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang
paling banyak terjadi adalah pada sanad.[9]
c.
Klasifikasi Hadits Shahih
1.
Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits
Shahih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung
dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh
orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat
yang tercela.[10]
2.
Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai
kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan
li-dazatihi , lalu ada
petunjuk atau dalil lain
yang menguatkannya , maka hadits tersebut
meningkat menjadi hadits shahih
li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.
هو ماكان رواته
متأخراعن درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى
يكون حديثه
حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر
ذالك
القصورالواقع فيه.
“Yaitu hadits shahih
karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula
merupakan hadits hasan, karena adanya
mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih
li-Ghairihi.”
2.
HADITS HASAN
a.
Pengertian Hadits Hasan
Hadits hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh seorang yang adil tetapi kurang
dhabit , tidak terdapat di dalamnya
suatu kejanggalan (syadz) dan tidak juga terdapat
cacat (‘Illat). Sehingga pengertian hadits hasan oleh para ulama
mutahaddisin didefinisikan sebagai berikut:
مالايكون في اسناده
من يتهم بالكدب ولا يكون شاذا ويروى من غير وجه نحوه
فى المعنى
“ialah hadits yang pada sanadnya
tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak
terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari
satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih
tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada
hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun
sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya,
antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.[11]
b.
Klasifikasi Hadits Hasan
1.
Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal
sanad hingga akhir sanad tanpa ada
kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.[12]
2.
Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada
sanadnya ada perawi yang
tidak diketahui keahliannya, tetapi dia bukanlah
orang yang terlalu banyak kesalahan dalam
meriwayatkan hadits,kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang bersesuaian
dengan maknanya. Jumhur ulama muhaddisin
memberikan definisi tentang hadist hasan li-Ghairihi sebagai
berikut:
مالايخلوإسناده من
مستور لم تتحقق أهليته وليس مغفلا. كثير الخطاء ولاظهر
منه سبب مفسق, ويكون
متن الحديث معروفا برويتة مثله أو نحوه من وجه آخر
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak
sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang
banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan
fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan
yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Hadist hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah
hadits dha’if. Kemudian ada petunjuk lain yang
menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hadits hasan.
Jadi, sekiranya tidak ada yang menolong,
maka hadits tersebut akan tetap berkualitas dha’if. [13]
3.
HADITS DHA’IF
a.
Pengertian Hadits Dha’if
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم
يجمع صفات الحديث الصحيح
ولا صفات الحديث
“hadits dha’if adalah hadits yang
tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun
sifat-sifat hadits hasan”.
Dengan demikian, jika hilang salah
satu kriteria saja, maka hadits itu
menjadi tidak shahih atau tidak hasan.
Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau
tiga syarat maka hadits tersebut dapat
dinyatakan sebagai hadits dha’if yang sangat
lemah.[14] Karena
kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar
hukum.[15]
b.
Klasifikasi Hadits Dha’if
1. Dha’if karena
tidak bersambung sanadnya
a.
Hadits Munqathi
Hadits
yang gugur sanadnya di satu tempat
atau lebih , atau pada sanadnya disebutkan nama
seseorang yang tidak dikenal.
b.
Hadits Mu’allaq
Hadits
yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya
secara berturut-turut.
c.
Hadits Mursal
Hadits
yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang
dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama
sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat
adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul saw.
1).
Mursal al-Jali
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh tabi’in
besar.
2).
Mursal al-Khafi
Pengguguran
nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini
terjadi karena hadits yang diriwayatkan
oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia
tidak pernah mendengar sebuah hadits.
d.
Hadits Mu’dhal
Hadits
yang gugur rawinya, dua orang atau lebih,
berturut-turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in
maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.
e.
Hadits Mudallas
Yaitu
hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa
hadits itu tidak terdapat cacat.[16]
2. Dha’if karena
tiadanya syarat adil
a.
Hadits al-Maudhu’
Hadits
yang dibuat-buat oleh seorang ( pendusta )
yang ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah
secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.
b.
Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits
yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap
hadits yang diriwayatkannya), atau tampak kefasikannya, baik pada perbuatan
ataupun perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun ragu.
3. Dha’if karena
tiadanya Dhabit
a.
Hadits Mudraj
Hadits
yang menampilkan ( redaksi ) tambahan, padahal bukan (bagian dari)
hadits
b.
Hadits Maqlub
Hadits
yang lafaz matannya terukur pada salah
seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian didahulukan
pada penyebutannya , yang seharusnya
disebutkan belakangan , atau mengakhirkan
penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan
diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
c.
Hadits Mudhtharib
Hadits
yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu perawi dua atau
lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan
tidak bisa ditarjih.
d.
Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits
Mushahhaf yaitu hadits yang
perbedaannya dengan hadits riwayat lain
terjadi Karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk
tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf
yaitu hadits yang perbedaannya
terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata
sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.
4. Dha’if karena
Kejanggalan dan kecacatan
a.
Hadits Syadz
Hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih
utama.
b.
Hadits Mu’allal
Hadits yang
diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan
penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat.
5. Dha’if dari segi
matan
a.
Hadits Mauquf
Hadits yang
diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan,
atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya
bersambung maupun terputus.
b.
Hadits Maqthu
Hadits
yang diriwayatkan dari tabi’in
dan disandarkan kepadanya, baik perkataan
maupun perbuatannya. Dengan kata
lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.
C.
KEHUJJAHAN HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
1.
Hadits yang berkualitas shahih, para ulama
sepakat dapat dijadikan hujjah untuk masalah hukum dan lainnya.
2.
Hadits hasan, Imam Bukhari dan Ibnul
Araby, menolaknya sebagai dalil untuk menetapkan hukum,
namun ulama lain seperti al-Hakim,
Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzainah, dapat menerimanya sebagai hujjah, dengan
syarat apabila hadits hasan tersebut ternyata isinya
bertentangan dengan hadits yang berkualitas shahih, maka yang diambil haruslah
hadits yang berkualitas shahih.
3.
Hadits dha’if, ada dua
pendapat boleh atau tidaknya
dijadikan sebagai hujjah. Pertama, Imam
Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnul Araby menyatakan, hadits
dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan hujjah,
baik untuk masalah yang
berhubungan dengan hukum maupun untuk
amaliyah. Kedua, Imam Ahmad Ibn Hambal,
Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar al-Asqalany menyatakan, bahwa hadits
dha’if dapat dijadikan hujjah ( dalil) hanya
untuk dasar keutamaan amal (Fadla’il amal) dengan
syarat:
a.
Para rawi yang meriwayatkan
hadits itu tidak terlalu
lemah
b.
Masalah yang dikemukakan hadits itu mempunyai dasar pokok yang
ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits shahih
c.
Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
d.
Kandungan hadits tersebut berkenaan dengan kisah,
nasihat, keutamaan, dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah,
tafsir ayat Al-Qur’an, hukum halal dan haram
e. Kedha’ifan hadits yang bersangkutan tidak terlalu parah
f.
Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang
menjadi dasar pokok bagi hadits dha’if tersebut
g. Amal yang dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk
dari hadits dha’if tersebut, tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian (ihtiyath)
A. Hadits Maqbul
dan Permasalahannya
Pengertian
Maqbul
menurut bahasa adalah yang diambil, yang
diterima dan yang dibenarkan. Sedangkan menurut istilah ahli
hadits, hadits maqbul ialah hadis yang telah
sempurna syarat - syarat penerimaannya . Adapun
syarat - syarat penerimaan hadits menjadi hadits
yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya yang tersambung,
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan dari
segi matan yang tidak syadz dan tidak terdapat illat.[17]
Hadits
maqbul ialah hadits yang dapat diterima sebagai hujjah.
Jumhur ulama sepakat bahwa hadits Shohih dan hasan sebagai hujjah. Pada
prinsipnya, baik hadits shohih maupun hadits
hasan mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima
(Maqbul). Walaupun rawi hadits hasan kurang hafalannya
dibanding dengan rawi hadits shohih, tetapi
rawi hadits hasan masih terkenal sebagai orang yang
jujur dan dari pada melakukan dusta.
Klasifikasi Hadits
Maqbul
Yang termasuk
kedalam kategori hadits maqbul ialah :
Kedua
macam hadits tersebut wajib
diterima, namun demikian para muhaddisin
dan juga ulama yang lain sependapat bahwa
tidak semua hadits yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam
kenyataan terdapat hadits-hadits yang telah dihapuskan
hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan lain
yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Maka
dari itu, apabila ditinjau dari sifatnya. Maka hadits
maqbul terbagi pula menjadi dua, yakni Hadits maqbul yang dapat
diterima menjadi hujjah dan dapat pula diamalkan, inilah yang disebut dengan
hadits maqbul ma’mulun bih. Disamping itu juga ada
hadits maqbul yang tidak dapat
diamalkan, yang disebut dengan hadits maqbul
ghairu ma’mulin bih. Berikut ini adalah rincian dari masing-masing hadits
tersebut yakni sebagai berikut :
Hadits Maqbul yang
Ma’mul bih.
1) Hadits
Muhkam
Al-Muhkam menurut
bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan. Yaitu
hadits - hadits yang tidak mempunyai saingan dengan
hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada
hadits lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah
karena dapat dipakai sebagai hukum lantaran dapat diamalkan
secara pasti, tanpa syubhat sedikit pun.
Kebanyakan hadits
tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan
jumlahnya sedikit.
2)
Hadits Mukhtalif
Mukhtalif
artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih.
Sedangkan secara istilah ialah hadits yang
diterima namun pada zhahirnya
kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul
lainnya dalam maknanya, akan tetapi
memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.
Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa
dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya.
3)
Hadits Rajih
Yaitu sebuah hadits
yang terkuat diantara dua buah hadits yang
berlawanan maksudnya.
4)
Hadits Nasikh
Yakni hadits
yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan
hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mandahuluinya.
Contoh
dari hadits Maqbul ma’mulul bih banyak
sekali. Secara garis besar pembagiannya ialah hadits yang tidak ada
perlawanannya dengan hadits lain dan hadits yang
terjadi perlawanan dengan hadits lain. Sebagai
contoh akan dikemukakan tentang hadits yang
tidak memiliki perlawanan dengan hadits lain (Hadits
Muhkam) berikut ini.
“janganlah kamu
larang isterimu untuk pergi kemesji (untuk bersembahyang), tetapi sembahyang
dirumah lebih baik bagi mereka” (H.R Abu Daud dari Ibnu Umar).[20]
Contoh Hadits yang
memiliki perlawanan dari hadits lain tetapi salah satu dari hadits tersebut
telah menghapus ketentuan hukum yang terkandung dari hadits yang turun
sesudahnya (hadits nasikh). Yakni sebagai berikut :
Barra berkata
: “ sesungguhnya nabi saw. Pernah sembahyang
menghadap baitul maqdis selama enam belas bulan”. (Riwayat
Bukhari)
Hukum
menghadap kiblat ke baitul maqdis itu telah
dinasikhkah oleh Allah pada firmanNya
1.
Hadits Maqbul Ghairu Ma’mul bih
A.
Hadits Mutasyabih
Yakni
hadits yang sukar dipahami
maksudnya lantaran tidak dapat
diketahui takwilnya. Ketentuan hadits mutasyabih
ini ialah harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.
B.
Hadits Mutawaqqaf fihi
Yakni dua
buah hadits maqbul yang saling
berlawanan yang tidak dapat di
kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan. Kedua
hadits ini hendaklah dibekukan sementara.
C.
Hadits Marjuh
Yakni
sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh hadits
Maqbul lain yang lebih kuat. Kalau yang
ditenggang itu bukan hadits maqbul, bukan disebut
hadits marjuh.
D.
Hadits Mansukh
Secara
bahasa mansukh artinya yang
dihapus, Yakni maqbul yang telah dihapuskan
(nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian.
E.
Hadits Maqbul
Maknanya
berlawanan dengan alQur’an, Mutawatir,
akal yang sehat dan ijma’ ulama.
Contoh dari hadits
Maqbul ghairu ma’mul bih ini salah satunya ialah
tentang hadits yang bertentangan dengan akal sehat yakni berikut ini :
”Konon termasuk
yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Wahyu yang diturunkan di malam hari
dan nabi melupakannya disiang hari” (HR. Ibnu Abi Hatim
dari Riwayat Ibnu Abbas r.a)[22]
Hadits
tersebut secara akal sehat, sebab menerima anggapan bahwa nabi pernah
lupa sedangkan menurut akal sehat dan
keputusan ijma’ nabi ialah terpelihara dari dosa dan
kelupaan ( ma’shum ) dalam menyampaikan syariat
KESIMPULAN
1)
Ditinjau dari segi kuantitas, hadist terbagi menjadi 3
kelompok, yakni: mutawatir, masyhur, dan ahad.
2)
Adapun apabila ditinjau dari segi kualitas, maka hadist
terbagi 2, yakni maqbul dan mardud.
3)
Hadist maqbul (hadist yang dapat diterima sebagai dalil)
terbagi menjadi 2 yaitu hadist shahih dan hasan
4)
Sedangkan yang termasuk kedalam hadist mardud salah satunya
ialah hadist dhoif.
5)
Hadist shahih terbagi kepada shahih lidzatihi dan shahih
lighairih
6)
Hadist dhoif hanya boleh dijadikan hujjah (dalil) untuk
keutamaan amal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar