LEMBAR PENGESAHAN
Judul : kehidupan awal manusia purba di indonesia
Penyusun : 1. Dicky Maho
Kelas :
XII IPA
Sekolah : SMA
Makalah ini Telah diterima dan disahkan
Oleh :
Plantungan, 22 Februari 2013
Guru Pembimbing
Muh. Gunawan, S.Pd.M. Kes
Nip : 081904408409
|
Yang
bersangkutan
Penulis
|
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Makala
Kehidupan Awal Manusia Purba Di Indonesia", yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Kendal, 22 Februari2013
"Penulis"
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
Penemuan
- penemuan fosil di dunia banyak disumbang oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan
Indonesia merupakan wilayah tropis dan mempunyai iklim yang cocok di huni
manusia kala itu. Penemuan –penemuan fosil sangat bergua bagi perkembangan ilmu
sejarah sekarang ini. Baik dalam hal menjelaskan kehidupan manusia kala itu,.
Hewan yang pernah hidup dan bagaimana evolusi manusia hingga menjadi sekarang
ini. Indonesia banyak menyumbang fosil manusia –manusia purba. Oleh karena itu
dalam makalah ini akan dijelaskan perkembangan manusia purba dari mulai
bagaimana menemukannya,cirri-ciri dari manusia purba dan tempat
ditemukanya,sampai evolusi manusia mulai dari pertama kali muncul hingga
menjadi manusia sekarang ini.
Dilihat
dari hasil penemuan di Indonesia maka dapat dipastikan Indonesia mempunyai
banyak sejarah peradapan manusia mulai saat manusia hidup. Dengan begitu ilmu
sejarah akan terus berkembang sejalan dengan fosil- fosil yang ditemukan.
Makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih jelas dan terperinci mengenai fosil-
fosil manusia purba yang ditemuakan di Indonesia. Penemuan –penemuan terbaru
juga termasuk di dalamnya. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui perkembangan
fosil terbaru yang ditemukan seperti Homo Moernman. Dijelaskan pula tempat
penemuan dan bentuk penemuannya agar isi makalah ini dapat dipercaya
kebenaranya.
A.
Perkembangan Fosil
Manusia Purba di Indonesia
Penemuan
manusia purba diawali dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-tempat
yang diyakini terdapat fosil-fosil manusia purba. penggalian dilakukan dengan
teknik arkeologi agar fosi tidak mengalami kerusakan. setelah digali, maka
fosil akan dibersihkan dengan bahan-bahan kimia tertentu, agar unsur-unsurnya
tdk mengalami kerusakan. Langkah selanjutnya adalah merekonstruksi / menyusun
lagi fosil-fosil seprti pada saat ditemukan.
Penelitian
ilmiah mengenai fosil dimulai pada akhir abad ke-19. Penelitian
Paleoantropologi manusia purba di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga tahapan,
yaitu 1889-1909, 1931-1941, dan 1952 hingga sekarang.
Eugone
Dubois menduga bahwa manusia purba pasti hidup di daerah tropis. Menurutnya,
hal ini disebabkan perubahan iklim sepanjang sejarah tidak banyak dan di daerah
tropis pula monyet serta kera masih banyak yang hidup. Ketika datang ke
Indonesia, Eugone Dubois mulai menyelidiki gua-gua di Sumatera Barat. Namun,
hanya tulang-tulang subresen yang ditemukan.
Penemuan
Eugena Dubois : Dia adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia purba di
Indonesia setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von Reitschoten
yang menemukan tengkorak di Wajak, Tulung Agung.yang menyebabkan Dubois
memindahkan kegiatan penelitiannya ke daerah Jawa. Fosil kiriman itu dinamai Homo Wajakensis,
termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir maju). homo
sapiens dengan isi volum otak kira-kira 1450 cm kubik hidup sekitar 15.000
hingga 150.000 tahun yang lalu. Temuan Dubois pertama, 1889, berupa fosil atap
tengkorak Pithecanthropus Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia, Erectus
berjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan Solo, dekat Ngawi,
, tahun 1891. Volume otak Pithecanthropus erectus diperkirakan sekitar 770 -
1000 cm kubik. Bagian tulang-belulang fosil manusia purba yang ditemukan
tersebut adalah tulang rahang, beberapa gigi, serta sebagian tulang
tengkorak.Temuan lainnya adalah Pithecanthropus Mojokertensis, ditemukan di
daerah Mojokerto dan Pithecanthropus Soloensis, ditemukan di daerah Solo.
Penemuan
Selenka dan Tim : Pada 1907-1908, Selenka dan regunya melakukan penyelidikan
dan penggalian di Trinil. Namun, penggalian tersebut tidak membuahkan hasil
fosil manusia purba. Yang ditemukan berupa fosil hewan dan tumbuhan yang dapat
menambah referensi mengenai kehidupan manusia Pithecanthropus Erectus.
Penemuan
Ter Haar dan Tim : Antara 1931-1933, Ter Haar dan Oppenoorth melakukan
pencarian di Ngandong, Blora. Dari hasil pencarian, didapat penemuan yang
sangat penting berupa tengkorak dan tulang kering Pithecantropus Erectus. Satu
seri tulang tengkorak yang besar jumlahnya dalam masa pendek dan berada di satu
tempat yang tidak begitu luas.
Penemuan
Tjokrohandojo : Pada 1926, Tjokrohandojo yang bekerja di bawah pimpinan Duyfjes
menemukan fosil manusia purba anak-anak di daerah Perning, sebelah utara
Mojokerto. Penemuan ini adalah pertama kali ditemukannya fosil tengkorak
anak-anak di lapisan bawah Pleistosen Bawah.
Penemuan
Von Koenigswald : Antara 1936-1941, Von Koenigswald menemukan fosil-fosil
rahang, gigi, dan tengkorak Homo Erectus dan Meganthropus Paleojavanicus juga
fosil hewan di daerah Sangiran, Surakarta. Penemuan ini terjadi di lapisan
Pleistosen Tengah maupun Pleistosen Bawah pada satu tempat dan memperlihatkan
adanya variasi morfologis. Perbedaan variasi tersebut, menurut para ahli,
memiliki perbedaan pada tingkat rasial, spesies, maupun genus. Yaitu,
varian-varian yang berasal dari masa lalu. Penemuan lain Fosil tengkorak di
Ngandong, Blora. Tahun 1936, ditemukan tengkorak anak di Perning berusia 5
tahun, Mojokerto. . Homo Sapien Soloensis (Homo Soloensis), ditemukan oleh Von
Koenigswald dan Weidenreich di tempat-tempat antara lain : Ngandong Blora,
Sangiran dan Sampung macan (Sragen), lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931 –
1934.
Penemuan lain tentang manusia Purba ditemukan
tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha manusia Meganthropus, Homo
Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung Macan (Sragen),Trinil,
Ngandong dan Patiayam (kudus).
Penelitian
tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang
dipimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang
aliran Bengawan Solo.
Semua
hasil penemuan fosil-fosil manusia purba pada tahap pertama disimpan di Leiden
dan temuan tahap kedua disimpan di Frankfurt (Jerman Barat). Akibat adanya
Perang Dunia II, pencarian Paleontropologi tertunda. Tahap ketiga baru dimulai
setelah Indonesia merdeka dan penemuan yang didapat disimpan di negara tempat
fosil tersebut ditemukan, Indonesia.
B.
Jenis dan Ciri fosil
manusia purba Indonesia dari yang tertua :
Jenis
fosil manusia purba di Indoesia :
Meganthropus Paleojavanicus (Sangiran).
Pithecanthropus Robustus (Trinil). Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus)
(Trinil). Pithecanthropus Dubius (Jetis). Pithecanthropus Mojokertensis
(Perning). Homo Javanensis (Sambung Macan). Homo Soloensis (Ngandong). Homo
Sapiens Archaic. Homo Sapiens Neandertahlman Asia. Homo Sapiens Wajakensis
(Tulungagung). Homo Modernman.
Ciri-ciri
manusia purba yang ditemukan di Indonesia :
1. Ciri Meganthropus :
·
Hidup antara 2 s/d 1
juta tahun yang lalu
·
Badannya tegak
·
Hidup mengumpulkan
makanan
·
Makanannya tumnuhan
·
Rahangnya kuat
·
Tulang pipi tebal
·
Terdapat tonjolan
kening yang mencolok
·
Tonjolan belakang
yang tajam.
·
Tidak memiliki dagu.
2. Ciri Pithecanthropus :
·
Hidup antara 2 s/d 1
juta tahun yang lalu
·
Hidup berkelompok
·
Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat
dan menonjol
·
Mengumpulkan makanan
dan berburu
·
Makanannya daging dan tumbuhan
·
Tinggi badan sekitar
165 -180 cm
·
Volume otak 750- 1350
cc
·
Bentuk tuuh dan
anggota badan tegap
·
Alat pengunyah dan
alat tengkuk sangat kuat
·
Bentuk graham besar
dengan rahang yang sangat kuat
·
Bentuk tonjolan
kening tebal
·
Bentuk hidung tebal
·
Bagian belakang
kepala tampak menonjol
3. Ciri jenis Homo :
·
Hidup antara 25.000
s/d 40.000 tahun yang lalu
·
Muka dan hidung lebar
·
Dahi masih menonjol
·
Tarap kehidupannya
lebih maju dibanding manusia sebelumnya
C.
Pembagian Jaman
kehidupan Awal Manusia
Zaman
dimana adanya kehidupan manusia sehingga merupakan zaman terpenting. Dan zaman
ini dibagi lagi menjadi dua zaman yaitu yang disebut dengan zaman Pleistocen
dan Holocen atau Alluvium dan Dilluvium adalah pembagian zaman menurut Ilmu
Geologi. Jaman ini terdapat pada Zaman Neozoikum.
Jaman
ini dibagi menjadi jaman tersier dan kuartier.Jaman tersier berlangsung sekitar
60 juta tahun,binatang yang berkembang adalah mamalia/binatang menyusui.Jaman
kuartier adalah yang terpenting karena jaman ini dimulai adanya kehidupan
manusia.Dan jaman kuartier masih dibagi lagi ke dalam jaman Pleistosen dan
Holosen.Jaman Pleistosen(Dilluvium) berlangsung kira-kira 3 juta tahun sampai
10 ribu tahun yang lalu.Jaman Pleistosen dimulai dengan meluasnya lapisan es di
kedua kutub bumi yang disebut jaman glasial,kemudian diselingi dengan jaman
mencairnya lapisan es disebut dengan jaman interglasial,keadaan ini berlangsung
silih berganti sampai empat kali.Kalau di daerah tropis jaman glasial berupa
jaman hujan(jaman pluvial),dan diselingi dengan jaman kering(interpluvial).Pada
jaman glasial,permukaan air laut turun dengan drastis,sehingga banyak dasar
laut yang kering menjadi daratan.Di Indonesia dasar laut yang kering di sebelah
barat disebut dengan dataran Sunda,dan menyebabkan kepulauan Indonesia bagian
barat menjadi satu dengan benua Asia,sedangkan yang di sebelah timur disebut
dengan dataran Sahul,dan menyebabkan kepulauan Indonesia di sebelah timur
menyatu dengan benua Australia.Sehingga ini semua mempengaruhi jenis flora-faunanya
juga.Manusia yang hidup di jaman Pleistosen adalah jenis Homo erectus.Jaman
Pleistosen berakhir kira-kira 10 ribu tahun sebelum Masehi.Kemudian diikuti
datangnya jaman Holosen(Alluvium) yang masih berlangsung hingga sekarang.Dan
jaman ini muncul manusia jenis Homo sapiens,yang diduga menjadi nenek moyang
manusia sekarang.
Pembagian
lapisan Dilluvium menurut V. Koeningswalds ada tiga :
1.
Pleistosen Bawah /
Lapisan Jetis ( 20 juta – 15 juta tahun yang lalu)di lapisan ini ditemukan
fosil manusia purba Meganthropus PaleoJavanicus oleh V. Koeningswald. Selain itu juga ditemukan
fosil Pithecantropus Mojokertensis dan Pithecantropus Robustus
2.
Pleistosen Tengah /
Lapisan Trinil ( 1,5 juta – 500.000 tahun yang lalu)ditemukan fosil manusia purba
Pithecantropus/Homo Erectus dan Pithecanthropus Robustus.
3.
Pleistosen
Atas/Lapisan Ngandong ( 100.000 – 50.000 tahun yang lalu)ditemukan fosil
manusia purba Homo Soloensi ( Homo Sapiens Soloensis ) dan Homo Wajakensis (
Homo Sapiens Wajakensis)
D.
Homo Florensiesis,
Manusia Purba Kerdil dari Flores
Rentang
fosil: Pleistosen Akhir
Klasifikasi
ilmia
Kerajaan:
Animalia Filum: Chordata
Kelas:
Mammalia Ordo: Primates
Famili:
Hominidae Genus: Homo
Spesies:
H. floresiensis Nama binomial :
Homo floresiensis
Homo
floresiensis (“Manusia Flores“, dijuluki Hobbit) adalah nama yang diberikan
oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan
volume otak kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya
membatu) dari sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada
tahun 2001. Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9)
menunjukkan postur paling tinggi sepinggang manusia moderen (sekitar 100 cm).
Para
pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen
menggunakan berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi
kerangka yang tidak memfosil, serta temuan-temuan sisa tulang hewan dan
alat-alat di sekitarnya. Usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari
94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.
1.
Penemuan
Liang
Bua, tempat ditemukannya seri fosil H. floresiensis.
Liang
Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan
menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah
ditemukan banyak kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk
mirip gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan
makanan mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau,
beliung, mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan
tingkat peradaban penghuninya.
Kerja
sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak
peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim
Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional
(dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari
Universitas New England. Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada
kedalaman lima meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman
itu), ditemukan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil, yang kemudian
disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil) tetapi
rapuh dan lembab. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang lengkap.
Diperkirakan, Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan,
dilakukan pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.Individu terlengkap, LB1,
diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000
tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta
beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000 dan
13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat diperoleh sisa material
genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk dilakukan. Perlu
disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah
bukan dari tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua
daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit
dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk
dilakukan.
2.
Ciri-ciri Kontroversi
Salinan
tengkorak H. floresiensis “LB1″ dibandingkan dengan tengkorak manusia yang
terkena mikrosefali yang pernah hidup di Pulau Kreta.
Pendapat
bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok
peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku
Jacob dari UGM. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari
sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada
beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan
pertumbuhan yang disebut mikrosefali (“kepala kecil”). Menurut tim ini, sisa
manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang
sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid.
Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali,
yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.
Perdebatan
yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa gua
di sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob
(wafat 2007), lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.
Pada
bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan
petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang
ditemukan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan
merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies yang berbeda. Hal ini
sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan mengenai
keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo
floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia
Neandertal.
Dua
publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif
daripada H. sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi
pertama yang dimuat di Anthropological Science membandingkan LB1 dengan
spesimen H. sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif.
Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat
dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari H. sapiens normal maupun patologis
karena mikrosefali. Hasil analisis kladistika dan statistika morfometri
terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1 (betina), dan
dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan mikrosefali, beberapa
kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba
menunjukkan bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari
manusia modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam
jurnal Significance. Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H.
floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.
3.
Perbandingan
tengkorak Homo Floresiensis dengan Homo Sapiens
Hobbit
Flores, Species Baru Hominin. Homo floresiensis, sering disebut juga dengan
hobbit Flores, masih terus berlangsung. Selama ini ada dua arus pendapat.
Pertama, yang menganggap Homo floresiensis sebagai spesies baru dari hominin,
sering disebut Hobbit, pendapat ini dimotori oleh para peneliti dari Australia,
seperti antropolog Peter Brown, Michael Morwood, dan para koleganya. Pendapat
kedua mengatakan, Homo floresiensis bukan merupakan spesies baru, tetapi
merupakan bagian dari spesies manusia modern dari bangsa Homo erectus yang
menderita sindroma kekerdilan dan penyakit microchepaly, –penyakit yang
menyebabkan pengerdilan volume otak dan ukuran tubuh, pendapat ini dimotori
Profesor Teuku Jacob dan para koleganya dari Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Dengan menggunakan metode penelitian analisa
statistik terhadap kerangka fosil yang ditemukan, para peneliti meyakini Homo
floresiensis merupakan sebuah spesies baru dari manusia kuno, atau hobbit, yang
bertubuh mini, dan bukan versi manusia modern yang terkena penyakit sehingga
tubuhnya menjadi kerdil dan kemudian diturunkan secara genetis. Sehingga Homo
floresiensis merupakan generasi manusia yang belum sempurna jika dibandingkan
dengan generasi Homo erectus, dan generasi manusia sempurna Homo sapiens yang
kini mendiami bumi. Detail lengkap dari hasil penelitian ini baru akan
dipublikasikan dalam Jurnal Significance, terbitan Royal Statistical Society,
pada edisi bulan Desember mendatang. Fosil Homo florensiensis pertama kali
ditemukan pada tahun 2003 oleh sekelompok peneliti Australia dan Indonesia, di
Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.
Dari
hasil rekonstruksi diketahui fosil ini merupakan kerangka dari manusia yang
memiliki tubuh mini, volume otak kecil, dan mirip dengan hominin, yaitu bangsa
manusia kuno. Dari uji karbon terhadap fosil temuan, spesies ini diperkirakan
hidup di Flores sekitar 18.000 tahun yang lalu. Jika Anda menonton seri film
Lord of The Ring, manusia hominin ini disebut dengan hobbit yang bertubuh
kecil. Para peneliti dari Universitas Medis Stony Brook yang dipimpin William
Jungers dan Karen Baad melakukan penelitian terhadap kerangka fosil Homo
floresiensis berjenis kelamin perempuan yang diberi code LB1 dan diberi nama
penelitian ‘Little Lady of Flores’ atau ‘Flo’, menyimpulkan fosil itu merupakan
spesies hasil evolusi hobbit. Penelitian meliputi fosil bagian tengkorak,
rahang, telapak tangan, kaki, dan telapak kaki, yang dibandingkan dengan ukuran
fosil-fosil manusia temuan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan, kapasitas
otak LB1 diperkirakan hanya sekitar 400 cm saja, yang sebanding dengan ukuran
otak Simpanse atau Siamang berkaki dua di Afrika. Ukuran tengkorak dan tulang
rahang Homo floresiensis, juga lebih primitif dari ukuran fosil manusia modern
normal yang ditemukan daerah dimanapun.
Temuan
fosil Homo floresiensis relatif lengkap, sehingga para ilmuwan dapat melakukan
rekonstruksi sosoknya, yang dapat dibandingkan dengan sosok manusia modern.
Tulang paha dan tulang betisnya jauh lebih pendek daripada yang dimiliki
manusia modern, bahkan jika dibandingkan dengan temuan fosil manusia kerdil
serupa di Afrika Tengah, Afrika Selatan, dan manusia kerdil negritto di Kepulauan
Andaman dan Filipina. Sehingga para peneliti berspekulasi ini merupakan bagian
dari sebuah rantai evolusi dari bangsa hominid, yang menyebar di berbagai
lokasi dunia pada masa lalu. “Sulit dipercaya proses evolusi dipengaruhi juga
dengan kemampuan gerak agar lebih ekonomis, “spesies ini mengembangkan paha dan
kaki yang lebih pendek, agar dapat berjalan kaki lebih baik dan efektif pada
waktu itu.”
Analisis
statistik dari Jungers dengan persamaan regresi yang dia kembangkan,
menunjukkan rata-rata tinggi Homo floresiensis sekitar 106 cm, jauh lebih
pendek dari rata-rata tinggi manusia modern kerdil yang rata-rata memiliki
tinggi 150 cm. Rekonstruksi menunjukkan sosok fisik LB1, juga jauh berbeda
dengan umumnya orang kerdil serupa yang ditemukan di Asia Tenggara maupun
Afrika, baik pada tinggi maupun ukuran tubuh.
Penutup
Kesimpulan :
Penemuan
manusia purba diawali dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-tempat
yang diyakini terdapat fosil-fosil manusia purba. Di Negara Indonesia sendiri telah
banyak ditemuakan berbagai macam fosil manusia purba seperti di daerah Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Fosil –fosil tersebut terbagi atas tiga jenis yaitu
Megantruphus, pithechantripus, dan Homo dengan berbagai macam subjenis. Di
daerah Nusa Tenggara ditemukan pula jenis baru manusia purba yang telah
berevolusi karena terkena penyakit gangguan pertumbuhan yang disebut
mikrosefali (“kepala kecil”). Penemuan –penemuan tersebut menambah pengetahuan
terutama di bidang ilmu sejarah sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar