jooz

Minggu, 02 Januari 2011

Perjalanan Mencari Harapan



PEMBICARAAN di medio November itu berlangsung ringkas. Menjelang akhir tahun, seperti biasa, Tempo akan meracik edisi khusus tentang orang-orang yang patut mendapat penghargaan karena prestasi mereka.

Redaktur Eksekutif Arif Zulkifl i mengusulkan agar kali ini kami mengangkat cerita tentang orangorang yang berperan membantu penanganan bencana. ”Seperti Haji Bambang pada tragedi Bom Bali,” Arif memberi contoh. Kebetulan, menjelang pergantian tahun, bencana datang silih berganti.

Pertanyaan pertama tentulah menyangkut kriteria. Sedapat mungkin sang ”tokoh” merupakan penduduk setempat. Kemudian seberapa besar keterlibatannya. Dia bisa ”siapa saja”: aparatur pemerintah, tentara, atau polisi, asal dia bekerja melampaui panggilan tugasnya. Lantaran pe nanganan bencana sering kali dilakukan tim, bukan hanya individu, terbuka pula kesempatan sebuah tim untuk terpilih.

Kami lalu berkomunikasi dengan sejumlah relawan bencana untuk menjaring kandidat. Kebetulan, organisasi relawan seperti Posko Jeng gala menerjunkan anggotanya di Merapi. MER-C mengirim bantuan medis ke Mentawai. Untuk melengkapi informasi, kami mengundang beberapa anggota Yayasan Air Putih, yang menangani pembuatan jaringan komunikasi, baik di Mentawai maupun Merapi, untuk berdiskusi di kantor redaksi Tempo.

Kami juga mengerahkan sejumlah koresponden yang berada di dekat daerah bencana. Mereka meng ontak kepala kepolisian, komandan militer, petugas pemerintah, sesama wartawan, dan relawan di lapangan untuk menelisik data tokoh sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Lewat proses ini akhirnya terjaring nama sejumlah kandidat di ketiga daerah bencana.

Menyadari beratnya medan dan sulitnya mengecek ulang, kami memutuskan mengirim wartawan yang lumayan berpengalaman ke daerah bencana. Mereka sudah terasah di lapangan, tahan banting, dan memiliki kemampuan verifi kasi yang memadai. Setri Yasra, Mucha mad Nafi , dan fotografer Arnold Simanjuntak dipilih berangkat ke Mentawai.

Setri, yang ”urang awak”, membantu menyiapkan transportasi tim Tempo dari Pelabuhan Bungus di Padang ke Pelabuhan Sikakap di Mentawai. Transportasi dari satu tempat ke tempat lain di Mentawai praktis harus melalui laut. Padahal tabiat gelombang laut sulit diterka. Kami pernah mencoba menempuh jalur darat yang berlumpur dan melewati rawa di Pagai Utara menggunakan sepeda motor. Hasilnya berantakan.

Untuk ke Merapi, kami mengirim Nur Khoiri dan Adek Media Roza. Lingkup kawasan yang terkena dampak letusan gunung api paling aktif di dunia ini begitu luas, meli puti Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah. Khoiri dan Adek harus berbagi daerah jelajah. Mereka dibantu fotografer Suryo Wibowo yang berdomisili di Yogyakarta.

Dibanding Mentawai, Merapi jauh lebih mudah dijangkau. Di sana jalan beraspal terbentang hingga ke pelosok desa. Hanya beberapa dusun, terutama yang hancur total seperti Kinahrejo, sulit diakses karena jalanan masih tertimbun material vulkanik setebal satu meter. Tapi, dengan bergotong-royong, penduduk membersihkan jalan sehingga setidaknya bisa dilalui sepeda motor.

Untuk mencapai Wasior, Bagdja Hidayat dan fotografer Jacky Rahmansyah harus menempuh perjalanan panjang. Mula-mula mereka terbang dari Jakarta ke Manokwari. Dari Manokwari, Wasior hanya bisa ditempuh dengan kapal laut selama 10 jam atau pesawat terbang ringan yang memakan waktu 50 menit. Tim Tempo akhirnya menggunakan pesawat kecil jenis Cessna, dan mendarat di lapangan terbang yang sudah dibersihkan dari lumpur bekas bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar